#Artikel nirmeke.com

Oleh: Soleman Itlay

Dani ini bukan nama suku asli di Lembah Agung Palim (bukan Baliem!). Itu sebabnya saya sebagai orang Lembah Agung Palim (LAP) tidak suka disebut sebagai orang Dani.

Dani sendiri berasal dari bahasa orang Migani, yang mereka juga tidak suka kalau orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang mereka menyebut diri mereka sebagai suku Moni di kabupaten Intan Jaya, Puncak bahkan di luarnya, termasuk di luar Papua dan Eropa.
Dani ini tidak perlu ada, tapi muncul karena “dosa primitifme Eropa” yang melakukan perjalanan menuju pegunungan Nemangkawi (Cartenz) dalam ekpedisi pada 1938-1939 yang dipimpin oleh Richard Archbold. Pertama ditulis oleh Le Roux yang masuk dalam tim ekspedisi itu.

Orang Migani mengartikan “Dani atau Ndani” sebagai wilayah bagian timur. Jadi pada waktu itu kelompoknya Archbold ini bertanya soal daerah timur itu apa dan dimana, maka orang tua dari Moni itu katakan “Ndani”.

Dari situ Roux menerjemahkan secara mentah-mentah, tanpa harus bertanya lebih lanjut kepada orang Migani yang lain atau orang di bagian timur itu sendiri. Dia asal membulatkan saja, bahwa daerah timur itu merupakan wilayah kekuasaan suku Dani dengan mental primitifme modern.
Inilah warisan dosa terbesar dari Roux dan penerusnya—orang Eropa, juga orang lain yang baru dan yang masih menggunakan istilah ini untuk suku kita. Mereka tidak menyebutkan dengan benar dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang eksistensi kita yang sebenarnya.

Istilah tidak benar ini berkembang bebas begitu saja. Mereka tulis dan tersebar begitu cepat dengan segala kelebihan, keterampilan, teknologi dan akses yang mereka miliki di luar.

Mau membantah pun dulu susah, karena keterbatasan pendidikan dan literasi bagi orang asli di lembah ini. Sekarang barulah kita sadar bahwa istilah itu tidak benar dan sama sekali tidak diterima di kota ini, Agamua (bukan Wamena!).

Masalah ini tidak akan ada kalau orang (oknum-oknum) Eropa yang perusak itu tidak datang. Tapi karena mereka datang, maka nama Dani pun muncul.

Jadi begini, karena orang Eropa itu bertanya, maka orang Migani itu menjawab. Disinilah letak kausalitas dibalik polemik nama suku “Dani”.

Meski orang Migani pun harus bertanggung jawab, kita tidak perlu menyalahkan sesama kita orang Papua akibat penyebutan “Dani” itu.

Sebab seorang misterius dari Migani itu, dia jawab sangat polos dengan pemahaman suku setempat tentang orang bagian timur yang benar, sebagaimana masyarakat setempat biasanya sebut.

Dia mengungkapkan kata “ndani” dengan tujuan hanya untuk menunjukkan tempat dan itu tepat sekali. Tetapi yang perlu dikritisi dan “kurang ajar”  adalah orang Eropa dengan segala pemikiran yang maju tapi sangat perimitif dalam memahami suku-suku pribumi di Papua itu.


Mereka melakukan sesuatu dengan seenaknya dengan mentalitas mereka yang sangat ekspansionis dan kolonialistik. Cara-cara ini tidak benar dan perlu diluruskan oleh kita yang memhami diri secara tepat.

Mereka harus lahir kembali atas kesalahan-kesalahan mereka di dunia ini, termasuk terhadap orang asli disini.

Cara menerjemahkan nama suku, tempat, gunung, batu, kali dan lainnya secara mentah-mentah, sepihak, semaunya, sesuka hati dan lainnya ini tidak lain, adalah mentalitas warisan dalam tradisi kolonialisme di dunia.

Eropa dan rata-rata para penguasa dimana pun selalu menggunakan pendekatan model ini, sebuah upaya yang tidak dapat dibenarkan di hadapan Tuhan dan leluhur di alam semesta ini. Dan itu harus dkritisi dan ditolak atas nama ketepatan.

Mereka adalah penyebab utama nama suku orang asli Lembah Palim dilecehkan, disalahartikan hingga saat ini. Orang-orang seperti Roux dan M. V. Strilling yang mempopulerkan pada 1926 harus bertanggungjawab penuh atas dosa dan kesalahan mereka terhadap suku pribumi Lembah Palim.

Orang di Lembah Palim sendiri tidak pernah menganggap diri sebagai orang Dani. Dani sangat asing dan bahkan benar-benar asing bagi mereka. Itulah sebabnya mereka akan menolak dan tidak akan pernah menghormati siapapun yang menyebutkan mereka sebagai orang Dani.

Orang-orang di Wio Silimo/Agamua, sebuah nama sebenarnya di Lembah Palim ini mereka akan merasa nyaman dan akan menghormati siapapun apabila orang lain menyebut mereka sebagai orang Hugula/Hubula/Huwula/Huwulra/Hubla dan lainnya.
Hugula/Hubula/Huwula/Huwulra/Hubla pada hakekatnya sama. Semua merujuk pada satu esensi suku yang satu dan sama di Wio Silimo hingga “Palim Ayowake”, yang artinya pinggiran sungai Palim.


Namun, yang membedakan disini adalah dialeg. Dalam dialeg di sub suku Itlayhisage, dan Itlaylokawal , Assolokowal, Ohena, Kurima dan sekitarnya menyebut Hugula. Dalam sub suku Itlay Haluk, Siepkosi, Huwikiak, Mukoko, dan sebagian Wita Waya menyebut Hubula.

Wilayah Yiwika, Musatfak, Asolagaima dan sekitarnya disebut Huwula/Huwulra dan bagian Sowa/Soba, Pasema dan sekitarnya menyebut Hubla—seperti yang disebutkan di Yahukimo (Hubla).

Dalam suku Hugula tidak ada suku-suku kecil. Hugula itu suku besar yang menghimpun lebih dari 50-an sub suku atau aliansi-aliansi dengan batas-batas wilayah dan dialeg yang berbeda.

Dari perbedaan dialeg itulah yang terkesan menimbulkan beberapa istilah, seperti Hugula/Hubula/Huwula/Huwulra/Hubla tadi. Diakatakan Hugula karena keunikan dan perbedaan yang indah itu.

Tapi pada hakekatnya semuanya itu satu dan sama, yaitu: satu suku dalam ragam sub  suku.Dengan ini saya harus mengatakan dengan dialeg saya bahwa saya bukan orang Dani. Kami bukan siapa-siapa dan sekali lagi bukan orang/suku Dani.

Tetapi dengan segala kesadaran saya–kami harus mengatakan bahwa saya–kami adalah suku Hugula. Suku Hugula yang namanya diwariskan sejak nenek moyang kami menempati di daerah ini pada 80.000 tahun yang lalu.

Oleh karena itu saya menolak segala pelabelan yang diberikan kepada saya dan kaum saya sebagai suku “Dani”. Karena kami adalah suku Hugula/Hubula/Huwula/Huwulra/Hubla yang satu dan sama.

Apabila ada orang salah tulis dan masih mengikuti warisan dosa dan kesalahan orang Eropa, maka tugas generasi penerus Hugula adalah meluruskan kembali  lewat tulisan atau dalam cerita biasa tertentu. Sebab ini merupakan tugas dan tanggung jawab moral kita yang mulia.